Takengon|mediantara.co.id|– Sebuah fakta mengejutkan terungkap dalam pelaksanaan program pelatihan life skill menjahit yang didanai Dana Desa. Terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara anggaran yang dikeluarkan dengan manfaat yang diterima peserta secara langsung.
Dari anggaran yang dikucurkan sebesar Rp6,5 juta per peserta, para peserta hanya menerima uang saku sebesar Rp300.000. Selisih yang signifikan ini memantik pertanyaan serius dan menguatkan dugaan praktik penggelembungan anggaran (mark-up) dalam kegiatan tersebut.
Kesenjangan itu diungkapkan oleh seorang peserta yang enggan disebutkan namanya. “Kami dapat uang saku hanya Rp300.000 untuk mengikuti pelatihan selama empat hari,” ujarnya, mengonfirmasi realitas di lapangan.
Selain uang saku, peserta memang menerima fasilitas lain berupa penginapan, satu set baju dan tas, serta sebuah mesin jahit. Namun, nilai dari fasilitas-fasilitas pendamping ini dipertanyakan.
“Mesin jahit yang kami terima, kalau cek di aplikasi online harganya sekitar Rp300 ribu rupiah,” tambah peserta tersebut.(27/10/2025)
Jika klaim ini benar, total nilai nominal yang langsung diterima peserta beserta uang saku ditambah perkiraan harga mesin jahit tetap tidak sebanding dengan alokasi dana per orang yang mencapai Rp6,5 juta.
Program ini merupakan bagian dari dua skema pelatihan yang dianggarkan melalui Dana Desa. Untuk pelatihan life skill menjahit saja, dialokasikan dana sebesar Rp13 juta per desa. Dengan 105 desa yang tercatat mendaftar, total nilai program ini secara keseluruhan bisa mencapai sekitar Rp1,365 miliar.
Besarnya anggaran yang dikeluarkan berbanding terbalik dengan nilai manfaat yang dirasakan langsung oleh peserta. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas penyerapan anggaran program tersebut. (Redaktur)