700 Sertifikat Tanah Dibatalkan Demi Tambang, Warga Bekambit Kotabaru Teriak Dijajah di Negeri Sendiri

Kotabaru, Mediantara.co.id Puluhan warga Desa Bekambit, Kecamatan Pulau Laut Timur, Kabupaten Kotabaru, menggelar aksi damai dan menghadiri mediasi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kalimantan Selatan, Banjarbaru, Selasa (22/4/2025). Aksi ini merupakan bentuk protes atas pembatalan sepihak lebih dari 700 Sertifikat Hak Milik (SHM) lahan transmigrasi yang mereka kuasai secara sah sejak lebih dari tiga dekade lalu.

Pembatalan ratusan SHM ini diketahui berkaitan erat dengan aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Sebuku Sejaka Coal (SSC), perusahaan tambang batu bara yang memperoleh Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) pada tahun 2011 dari Bupati Kotabaru terdahulu. Padahal, menurut data yang disampaikan kuasa hukum warga, lahan transmigrasi di wilayah Rawa Indah sudah dihuni dan dikelola warga sejak tahun 1986 hingga 1989 dan telah diterbitkan SHM oleh negara pada tahun 1990.

Ketua Advokat Rakyat untuk Nusantara (ARUN) Kabupaten Kotabaru, Wahid Hasyim, menyatakan bahwa persoalan ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Ia mendesak Komisi III DPR-RI untuk segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) guna membahas keabsahan pembatalan SHM dan dugaan pelanggaran hak-hak warga negara.

“Persoalan ini harus diusut tuntas secara serius. Kami minta Komisi Hukum DPR-RI segera turun tangan. Sudah terlalu lama masyarakat berjuang untuk mendapatkan haknya kembali, namun tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah,” tegas Wahid.

Aksi damai ini turut diikuti 29 perwakilan warga eks transmigrasi yang datang langsung ke Banjarbaru. Mereka menyuarakan keprihatinan atas pembatalan yang dianggap cacat hukum dan prosedur serta menuding adanya keterlibatan mafia tanah yang merampas hak mereka atas lahan yang telah mereka kuasai secara sah dan sah secara administratif.

Ketua komunitas warga transmigrasi, I Ketut Buderana, mengungkapkan bahwa dirinya pernah dikriminalisasi saat mempertahankan tanah warga dari ekspansi pertambangan PT SSC pada tahun 2022. Buderana ditahan atas tuduhan penggelapan SHM, meskipun ia hanya menerima kuasa dari pemilik lahan sah.

“Kami tidak akan menyerah. Kami akan terus berjuang. Kami sudah koordinasi dengan anggota Komisi III DPR-RI agar persoalan ini diselesaikan secepatnya. Presiden Prabowo Subianto juga harus tahu penderitaan kami akibat konspirasi oknum aparat, BPN, dan perusahaan,” ujar Buderana.

Kuasa hukum warga dari Kantor Advokat BASA REKAN, M. Hafidz Halim, menyampaikan bahwa terdapat dua gelombang pembatalan SHM: 441 sertifikat pada tahap pertama dan 276 pada tahap kedua. Proses pembatalan dilakukan tanpa sosialisasi, partisipasi warga, ataupun keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana seharusnya diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

“Pembatalan SHM hanya berdasarkan permintaan perusahaan. Tidak ada transparansi. Tidak ada dialog. Ini bertentangan dengan asas due process of law,” kata Hafidz.

Dalam konteks hukum agraria, pembatalan sertifikat hak atas tanah yang telah diberikan kepada masyarakat hanya dapat dilakukan melalui mekanisme hukum sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Kepala BPN Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, yang mewajibkan adanya verifikasi, pemberian ruang klarifikasi, dan keputusan dari pejabat yang berwenang setelah pemeriksaan menyeluruh.

Selain itu, dalam Pasal 110 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan disebutkan bahwa pembatalan sertifikat hanya dapat dilakukan apabila terbukti ada cacat administrasi dan setelah proses mediasi yang adil dilalui.

Ironisnya, mediasi yang dijadwalkan antara warga dan PT Sebuku Sejaka Coal batal terlaksana karena ketidakhadiran perwakilan perusahaan. Hal ini kian mempertegas kecurigaan warga bahwa hak-hak mereka sengaja diabaikan.

Setelah pembatalan SHM pada tahun 2019, aktivitas penambangan oleh PT SSC dimulai pada tahun 2021. Sejak saat itu, warga kehilangan akses ke lahan yang telah mereka kelola secara turun-temurun. Mereka dilarang masuk, tanpa menerima penjelasan resmi, dan hanya menerima daftar pembatalan sertifikat yang memutus hubungan hukum mereka dengan tanah tersebut.

Kuasa hukum warga menuntut agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) segera melakukan supervisi terhadap BPN Kotabaru dan Kanwil BPN Kalsel, serta mencabut Surat Keputusan pembatalan sebelum dilakukan mediasi lanjutan. Mereka juga meminta proses yang transparan dan akuntabel demi memulihkan keadilan agraria bagi warga transmigran.

“Kalau bisa membatalkan SHM, maka harus berani juga membatalkan SK pembatalannya. Baru masyarakat bisa bernegosiasi dengan kepala tegak,” tegas Hafidz.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari BPN Kalimantan Selatan terkait alasan hukum dan prosedural atas pembatalan 700 SHM tersebut. Sementara itu, pihak perusahaan tambang juga belum memberikan tanggapan atas ketidakhadiran mereka dalam agenda mediasi resmi.

Warga pun berharap, dengan perhatian DPR-RI dan pemerintah pusat, konflik agraria yang telah menahun ini bisa segera diselesaikan secara adil dan bermartabat. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *